Gerimis 28°
Jum'at,15 Maret 2019
Ketika semuanya berawal. Hari ini hari yang cukup panas tadinya,bahkan sempat tadi saya baca di media sosial hari ini sang mentari mengeluarkan badainya. Tetapi entah mengapa selepas shalat jum'at langit berselimut awan gelap nan tebal dan tidak lama karena menahan air yang cukup lama hujan pun turun dengan amat derasnya,cukup deras sehingga mampu menghentikan kendaran yang berlalu lalang,terutama pengendara motor untuk sejenak berteduh. Suhu menunjukan 28° C dan hujan pun mereda dan berubah menjadi rintik2 hujan kecil yang biasa orang bilang itu "gerimis". Tak lama orang-orang yang berteduh tadi mulai meninggalkan tempat mereka berteduh dan memulai cerita hidup mereka kembali. Tetapi disaat yang sama dirintik2 hujan yang sama. Saya teringat dengan sepenggal kisah masa kecil saya ketika hujan. Bukan kisah yang spesial,hanya sekelebat cerita masalalu yang lewat dikepala saya. Sekitar 15 tahun lalu. Dirumah lama orangtuaku yang sekarang sudah jadi lahan kebun milik orang karena beberapa waktu lalu digadaikan orang tuaku. Disuasana yang sama,digerimis yang sama ceritanya. Selepas hujan deras,kakakku yang merupakan kakak kandungku sendiri. Dia perempuan,entah menghilang kemana,terakhir aku melihatnya tepat setelah hujan reda dia bersama dua kawannya turun ke sungai. Tapi apalah peduliku. Aku lebih memilih bermain kartu bergambar yang kubeli 1000 satu lembar besar yang bergambar macam2. Tidak berselang lama Ibu menanyakan keberadaan kakak kepadaku.
"Kakakmu dimana ya le?" Tanya ibuku dan tentunya pake bahasa jawa
"Ngga tau mak,aku daritadi cuma main kartu aja" jawabku
"Pak,anakmu dimana ya??" Tanya ibuku kepada bapakku
"Loh,bukannya anakmu itu" tanpa memperhatikan ibu dan sibuk pada pekerjaanya
"Lah,ditanya bener-bener kok malah gitu" ucap ibu yang agak gerah mendengar jawaban bapak
"Coba tanya Agus,siapa tau dia tau"
"Le,dimana mbakmu?""
"Nggak tau bu,tapi kayaknya aku lihat tadi kakak turun kesungai dah." Ucapku dan lagi2 sibuk pada kartuku
"Pak,anakmu kesungai lagi!" Seru ibuku dengan nada khawatir
Dan lagi2 aku masih sibuk sendiri
"Laillah,susah betul dibilangin. Jangan main kesungai. Dianggapnya angin lalu omongan kita" ucap bapak
Kali ini bapak mulai mengalihkan perhatian dari pekerjaannya,beliau mulai mencari sesuatu entah apa itu.
Setelah beberapa saat,aku masih sibuk dengan kartuku.
"Awas nanti ya kalau ketemu" sambil berjalan keluar dengan marah
Kali ini mendengar bapak marah2 aku mulai melihat bapak yang berjalan menuju sungai kebetulan rumah kami yang lama dekat dengan sungai di desa kami. Dan kuperhatikan lagi beliau membawa selonjor batang pohon singkong berdiameter 3 cm kira2 cukup besar. Tapi aku tidak tahu untuk apa itu.
Kemudian fokusku teralihkan pada kartu2 mainan tadi lagi.
Setelah sekitar 15 menit berlalu,dari arah sungai terdengar teriakkan "Lari,lari,....."
Sesaat setelah itu teman2 yang tadi bersama kakakku berlarian menuju rumah masing-masing. Tapi tidak terlihat kakakku diantaranya. Dan lagi-lagi aku tidak peduli akan hal itu.Tak lama setelahnya kakakku menangis tersedu sedu sambil berlari dan mencari ibuku. Kemudian ayahku menyusul dengan selonjor batang singkong tadi ditangannya,masih dengan muka marah bak mau perang.
"Bu,aku dipukul ayah..." ujarnya masih dengan tangisan
Ibu tidak merespon,malah tambah memarahinya
"Makanya kamu dibilangin jangan bandel,dibilang jangan kesungai main disungai masih saja kesana. Nanti kalo banjir kamu kenapa2 gimana. Apalagi ini baru saja turun hujan deras" tegas ibu
Kakakku masih menangis. Kali ini aku mulai peduli,tapi masih dengan kartu ditanganku. Aku mengahmpiri kakakku,dan kubilang seakan aku penasihat paling handal dimuka bumi
"Sudah tidak usah menangis" ucapku dengan nada cuek
"Gimana nggak nangis nih abis dipukul bapak pake batang singkong" sambil menunjukan bekas pukulan
"Haa......." aku hanya bergeming dan berpikir ternyata batang singkong yang berdiameter 3 cm tadi dipakai bapakku untuk memukul kakak.
"Sudah,tadi aku beli mainan baru lo,gambarnya bagus2" mencoba menghiburnya dengan kepolosan bocah 4 tahun. Tidak membutuhkan waktu lama untuk kembali merekahkan senyumnya.
Mulai saat itu aku berpikir untuk tidak mencoba nakal menaati bapak ibuku. Kalau tidak bisa saja selonjor batang singkong bakal melayang atau lebih parah lagi. Dan hingga saat ini aku dan kakakku tidak pernah menganggap hal itu sebagai penganiaayaan atau semacamnya melainkan sebagai pelajaran dan bentuk kasih sayang orangtua kami kepada kami.
Tak terasa waktu sudah menunjukan jam 3 waktunya ashar,cukup untuk lamunan kali ini. Terimakasih
Komentar
Posting Komentar